WAJAH INDONESIA DI ERA PANDEMI COVID-19
Oleh: Lina Izzatul Wardah
Adanya Pandemi Corona Viris (COVID-19) telah merubah tatanan dunia yang berdampak pada perubahan masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Lockdown, karantina, physical distancing, kacaunya rantai suplai logistic dan lainnya menjadi awal dari ketidaksiapan dunia menghadapi pandemi. Pandemic ini juga membuat ekonomi global jatuh tersungkur karena berbagai upaya yang telah dilakukan sebagai pengendalian virus membuat roda ekonomi berputar sangat lambat bahkan nyaris berhenti.
Di Indonesia pun dampak dari pandemi Covid-19 yang secara sosiologis mengakibatkan disorganisasi sosial atau suatu proses berpudarnya nilai dan norma di dalam masyarakat karena perubahan yang terjadi pada lembaga sosial masyarakat karena ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Kebijakan physical distancing yang diterapkan pemerintah juga telah mengubah ragam bentuk perilaku masyarakat yang mengharuskan adanya jarak fisik dalam proses interaksi sosial. Kebiasaan dan perilaku masyarakat pra-pandemi yang tadinya konvensional kemudian ditransformasi menjadi pola interaksi virtual.
Masyarakat diharapkan melakukan segala kegiatan seperti belajar, mengajar, beribadah dan bekerja dirumah saja. Bebeapa perusahaan pun juga memberlakukan work from home (WFH) alias bekerja dari rumah bagi para karyawannya untuk mengurangi penyebaran virus corona.
Indonesia juga dihadapkan pada banyaknya persoalan dalam aspek ekonomi akibat dari pandemic ini. Kinerja ekonomi menurun tajam, konsumsi terganggu, investasi terhambat, ekspor-impor terkontraksi, dan pertumbuhan ekonomi melambat/ menurun tajam. Kondisi ekonomi di Indonesia nampak memprihatinkan yang dimana berbagai sector harus terkendala dalam proses operasi seperti pabrik-pabrik yang harus menghentikan proses operasi karena kondisi tidak memungkinkan, Pemutusan Jumlah Kerja (PHK) yang dalam jumlah besar-besaran sebagai bagian dari krisis ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartar II (Q2) 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32% year on year (yoy). Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2.97% dan Q2 2019 yang mencapai 5,05%. Kontraksi sebesar 5,32% itu merupakan yang terendah sejak triwulan I tahun 1999, yang ketika saat itu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13%. Salah satu penyebab turunnya bertumbuhan ekonomi karena turunnya sejumlah ekspor Indonesia, yang salah satunya dua negara tujuan ekspor Indonesia yaitu Amerika Serikat (AS) dan China.
Pandemic ini juga berimbas ke dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pemerintah memberlakukan system Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemic Covid-19 ini. PJJ yang diberlalukan pemerintah masih menuai kritik di masyarakat, mulai dari soal keterbatasan akses internet yang belum merata sampai kurang pemahaman orang tua terhadap pendidikan itu sendiri yang berdampak pada penurunan kualitas belajar siswa. Perkembangan anak dalam pembangunan Sumbe Daya Manusia (SDM) juga akan terhambat, padahal pendidikan merupakan salah satu variable dari indicator makro pembangunan manusia Indonesia.
Adanya ketimpangan pendidikan pun menjadi soal yang serius, dimana para siswa, orang tua, dan guru jungkir balik mengikuti proses PJJ via daring (dalam jaringan). Kemampuan para guru melakukan metode daring serta sarana dan prasarana untuk menunjang metode daring pun menjadi titik mula dari ketimpangan tersebut. Di daerah terpencil para murid harus mencari sinyal karena keterbatasan akses internet, begitu juga keluarga-keluarga yang tidak memiliki ponsel sama sekali atau memiliki ponsel, tetapi pemakaiannya bergantian dengan orang tua, dan sekalipun memliki ponsel banyak keluarga yang kerepotan untuk membeli kuota karena ekonomi keluarga yang tidak stabil di era pandemic Covid-19 ini.
Hasil riset dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, yang dirilis pada 21 Agustus lalu, menjelaskan ketimpangan nyata di dunia pendidikan Indonesia selama musim pandemic Covid-19. Hampir 69 juta siswa kehilangan akses pendidikan saat pandemic. Lain halnya dengan siswa dari kalangan yang keluarganya mampu atau tercukupi, dimana akses pendidikannya mudah. Ini merupakan implikasi dari ketimpangan pendidikan. Riset ini mendapati hanya 40% orang Indonesia memiliki akses internet yang mana makin membuka ketimpangan infrastruktur komunikasi yang khususnya berada di luar Jawa. Bahkan di Jakarta pun yang menjadi pusat infrasturktur ketimpangan pun sangat kentara.
Untuk itu pemerintah mulai mentapkan fase kenormalan baru. Kebijakan terkait kegiatan belajar mengajar pun mulai disesuaikan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Satuan Tugas Nasional Covis-19 telah memperbolehkan sekolah di zona hijau dan zona kuning untuk menggunakan sisitem tatap muka atau Luring (Luiar Jaringan), yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, dengan tetap mematui protocol kesehatan.
Kebijakan ini setidaknya membawa angina segar bagi sekolah-sekolah yang selama pandemic ini kesulitan menggunaklan metode daring. Tetapi pelaksanaannya ada bebrapa ketentuan yang harus ditaati. Siswa perkelas harus dibagi menjadi bebrapa kelompok kecil dan kegiatan belajar mengajar dilakukan dirumah salah satu siswa dimana guru/ wali kelas yang akan mendatangi.jam pelajaran pun dibatasi antara 2 sampai 4 jam.