Nyadran diawali dengan arak-arakan dari masing-masing desa dengan membawa nasi tumpeng setinggi satu meter menuju bukit hutan Tawing. Di sela arak-arakan juga dihibur dengan kesenian tradisional seperti barongan dan tari jaran kepang. Setelah memanjatkan doa bersama, warga kemudian berebut gunungan nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Dari anak-anak sampai dewasa ikut berebut nasi tumpeng tersebut. Selain itu kerbau bule yang diarak lalu disembeleh di dekat makam Kyai Joko Suro di puncak gunung Tawing.
Sesepuh Desa Surokonto Wetan Sudari mengatakan jika tradisi tersebut digelar sebagai wujud rasa syukur dan untuk mengenang para pendiri desa, yakni Mbah Kyai Joko Suro, Mbah Kyai Salim dan Mbah Kyai Dadap. “Ini adalah wujud syukur sekaligus wujud guyub rukunnya dan kebersamaan, perasaan senasib dan sepenanggungan. Tradisi ini baik, jadi harus dilestarikan sebagai tradisi leluhur bangsa,” katanya.
Tiga tokoh tersebut merupakan tonggak awal berdirinya tiga desa yang telah berjasa membuat aliran air dari bukit hutan Tawing menuju sawah-sawah warga. “Jadi dulu, tanah di tiga desa ini kering. Ada mata air tapi berada di bukit hutan Tawing. Lalu para pendiri desa ini mengalirkan air ke bawah sehingga sawah-sawah bisa dialiri air dan bisa ditanami padi,” tuturnya.