Bukan hanya korban dan keluarganya saja yang berhak mendapatkan pelayanan pendampingan dan perlindungan. Keluarga pelaku pun berhak juga. Keluarga dengan anggotanya yang berhadapan dengan hukum beresiko mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Keluarga pelaku kriminal seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungannya. Orang tua dan anak-anak mendapatkan label atas apa yang diperbuat oleh pelaku. Hanya saja hal ini tidak mendapatkan perhatian dan minim sekali kajian yang membahas dinamika psikologis dari sudut pandang keluarga pelaku.
Selama ini yang dianggap paling menderita hanya pada korban dan keluarga korban. Hal ini sempat memicu perdebatan saat Kak Seto Mulyadi Ketua LPAI Pusat mendapatkan laporan bahwa anak-anak Ferdi Sambo dan Putri Candrawathi pelaku pembunuhan berencana yang menewaskan Brigadir Nofriyansyah Yoshua Hutabarat mengalami perundungan. Kak Seto menjelaskan bahwa anak-anak yang terkena perundungan harus dilindungi. Anak pelaku adalah korban yang harus dilindungi hak-haknya. Sesuai dengan amanat undang-undang perlindungan Anak yang berbunyi siapapun yang terjadi diskriminasi anak-anak wajib dilindungi dari berbagai tindak kekerasan. Kekerasan yang dimaksud tidak hanya yang dialami korban saja tetapi dari yang dialami oleh anak-anak pelaku. Anak tidak dapat disalahkan atas apa yang dilakukan oleh orang tuanya karena anak tidak tahu apa-apa dan tidak berhak mendapatkan hukuman sosial.
Keluarga yang berhadapan dengan hukum menyebabkan kurang harmonis. Dampaknya anak-anak mudah stress dan kurang bahagia, bersikap agresif dan kasar, anak akan lebih pendiam dan menjadi anti sosial, anak akan kehilangan rasa percaya diri, konsentrasi belajar terganggu, relasi sosialnya terhambat dan beresiko memiliki masalah mental ketika dewasa. Semua yang dialami anak pelaku kriminal disebabkan karena kehilangan figur yang menjadi teladan dan sandaran perlindungan di dalam keluarga.
Fenomena lain masih ada anak-anak yang belum mendapatkan perlindungan secara hukum. Salah satunya adalah anak-anak yang bukan karena perbuatannya atau kesalahannya harus masuk ke dalam lingkungan LAPAS, dikarenakan orang tuanya (ibunya) menjalani hukuman di LAPAS Perempuan. Kondisi ini tentu saja sangat miris, karena lingkungan LAPAS bukanlah lingkungan atau tempat yang baik bagi anak, sebab pengaruhnya akan buruk terhadap perkembangan jiwa si anak mengingat LAPAS sering mendapat julukan sebagai sekolah kejahatan. Kondisi ini seharusnya tidak boleh terjadi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari lingkungan LAPAS terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Adanya Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang cerdas, berani, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak yang baik dan menjunjung nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-undang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas, yaitu: Non diskriminasi, Kepentingan yang terbaik bagi anak, Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, serta perkembangan, dan Penghargaan terhadap pendapat anak.
Stigma dan diskriminasi sering dialami oleh keluarga pelaku kriminal sehingga kehilangan hak-haknya di masyarakat. Orang-orang yang mengalami stigmatisasi atribut yang menandai mereka berbeda dan mengarahkan mereka menjadi bernilai lebih rendah di mata orang lain. Anak mendapatkan label negatif dengan sebutan anak koruptor, anak pembunuh, anak pencuri, dan anak pelaku kejahatan lainnya. Dinamika psikologis dan resiliensi dialami anak dan keluarga pelaku kriminal membutuhkan proses tidak sebentar dan tidak mudah. Rasa takut mendominasi di awal dan perlahan resiliensi meningkat dengan adanya kerjasama dan dukungan keluarga dan lingkungan.
Perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses ”mempertimbangkan” berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan jangkar (anchor), pesan kita persepsi diposisikan dan disortir (alam bawah sadar) kemudian membandingkan antara gagasan baru dengan sudut pandang kita. Ada tiga rujukan dalam melakukan judgment yaitu pertama, rentang penerimaan meliputi rangkaian posisi sikap atau gagasan yang dapat diberikan , diterima dan ditolerir oleh individu. Kedua, rentang penolakan merupakan rangkaian posisi sikap atau gagasan yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bisa ditolerir oleh individu. Ketiga, rentang ketidakterlibatan yaitu pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dari rentang-rentang ini akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan dalam situasi tertentu. Pembentukan situasi mencakup faktor-faktor intern seperti sikap, emosi, motif, pengaruh pengalam masa lampau dan sebagainya, maupun faktor ekstern seperti objek, orang-orang, dan lingkungan fisik, faktor intern dan ekstern ini menjadi frame of reference / kerangka acuan dari setiap perilaku.
Judgment dipengaruhi dengan adanya Ego-Involvement maksudnya derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang ikut menentukan sejauh mana seseorang dapat dipengaruhi. Dengan kata lain makin berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi. Peristiwa yang dialami seseorang sebagai anak dari pelaku kriminal menjadi perhatian dan bahan gunjingan di lingkungan masyarakat. Masyarakat terpengaruh untuk memberikan penilaian buruk kepada keluarga pelaku dikarenakan rasa ketidaksukaan dan kebenciaan. Efek yang muncul dari proses judgment (menilai) ada asimilasi dan kontras.
Asimilasi merupakan sebuah pesan persuasif dalam rentang penerimaan dan pesan-pesan tersebut mendekati pernyataan patokan (kerangka rujukan) yang ada. diasimilasi atau dianggap mirip dengan patokan yang ada dan dijadikan satu kelompok. ”ditarik” mendekati pernyatan patokan sehingga tampak menjadi lebih dapat diterima daripada keadaan sebenarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kontrak yaitu Pernyataan yang berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda (kontras) dan bertentangan dengan pernyataan patokan meskipun sebenarnya perbedaan tersebut tidak terlalu jauh. Karena kita memperbesar perbedaan maka sebuah pesan yang seolah-olah bertentangan sepenuhnya dengan patokan yang ada. Akhirnya pesan tersebut kita tolak. Dalam hal judgment ada dua langkah proses kepercayaan diantaranya melibatkan individu mendengar atau membaca pesan dan segera mengevaluasi dimana pesan berada dalam posisi mereka saat itu, dan melibatkan individu tertentu menyesuaikan sikap mereka terhadap salah satu pihak atau menolak pesan yang didengar keduanya.
Keluarga yang memiliki anggota yang ditetapkan sebagai tersangka pelaku kriminal mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Akibatnya keluarga akan mengalami fase krisis, distress psikologis berkepanjangan meliputi perasaan merasa rendah diri, malu, minder, takut, cemas, sedih dan menarik diri dari lingkungannya. Berdasarkan yang dialami keluarga pelaku kriminal maka dibutuhkan dukungan sosial dan penerimaan dari lingkungannya. Penolakan yang diterima keluarga pelaku berpotensi memunculkan permasalahan hidup. Seseorang bisa menerima atau menolak tergantung kepada keterlibatan egonya masing-masing. Seseorang akan melakukan penilaian terlebih dahulu berdasarkan tentang apa yang diyakininya. Apabila seseorang meyakini apa yang dilakukan pelaku kriminal buruk dan keluarganya juga dianggap buruk maka penilaiannya juga buruk. Begitu juga sebaliknya apabila meyakini bahwa keluarga pelaku kriminal tidak terlibat dengan perbuatan buruk pelaku dan tidak bersalah dengan begitu sikap penerimaan dan dukungan terbentuk. Perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (Judgment) yang terjadi dalam diri seseorang terhadap pokok permasalahan yang dihadapi. Proses mempertimbangkan isu atau objek sosial berpegang pada kerangka tujuan yang dimiliki.
Dengan demikian berdasarkan dari teori social judgment maka yang perlu ditanamkan adalah sikap penolakan terhadap perbuatan salah yang dilakukan oleh pelaku, namun sikap penerimaan kita munculkan kepada keluarga pelaku yang mendapatkan dampaknya. Terlebih anak-anak dengan orang tua pelaku kriminal yang mengalami perundungan dan diskriminasi sehingga yang menjadi haknya terhambat. Oleh sebab itu dukungan dan perlindungan sangat dibutuhkan anak-anak dengan orang tua pelaku kriminal. Saat orang tua diproses secara hukum diharapkan anak pelaku tetap hidup dengan baik dan tidak terputus haknya untuk hidup, tumbuh kembang, hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative, hak bermain, hak pendidikan, hak partisipasi, dan hak perlindungan khusus. Konvensi hak anak total 54 pada pasal 43-54 yang berisikan kerjasama yang harus dilakukan orang dewasa dan pemerintah agar hak semua anak terpenuhi. Dengan demikian pemenuhan hak anak adalah tanggung jawab kita bersama. Semoga sudah tidak ada lagi anak-anak dengan orang tua pelaku kriminal yang mendapatkan judgment, stigma negatif, perundungan dan perlakuan diskriminasi. Dengan harapan anak sebagai generasi penerus bangsa mempunyai masa depan yang cemerlang dan menjadikan negara lebih maju. (Siti Choiriyah, Mahasiswa Magister Psikologi UNIKA Soegijapranata Semarang)